Hukum mengusap kedua telinga adalah wajib karena
(Taudlihul Ahkam 1/168) :
·
Termasuk dari keumuman perintah dalam ayat (وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ), dan
telinga termasuk kepala (baik menurut bahasa, ‘urf, mapun syar’i), sebagaimana
hadits : الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ (kedua telinga itu termasuk kepala, lihat
As-Shohihah no 36, dan pendapat akan sunnahnya (tidak wajib) timbul karena
menganggap hadits ini lemah).
·
Hikmah diusapnya telinga selain untuk sempurnanya kebersihan telinga baik yang
luar maupun yang dalam, juga membersihkan dosa-dosa yang telah dilakukan oleh
telinga.
8.
Mencuci kaki kanan tiga kali hingga mata kaki, dan demikian pula yang kiri.
Mencuci
kedua kaki hukumnya adalah wajib, sesuai perintah Allah ta’ala وَأَرْجَلَكُمْ إِلَى
الْكَعْبَيْنِ (…Dan kaki-kaki kalian hingga ke mata kaki). Dan cara mencucinya
yaitu mencuci dari ujung-ujung jari kaki hingga (bersama) mata kaki sebagaimana
disebutkan dalam ayat. Dan ini telah disepakati oleh Ahlus-Sunnah wal jama’ah.
Berbeda halnya dengan Syi’ah. Mereka beranggapan bahwa mengusap kaki sudahlah
cukup dan tidak usah sampai ke mata kaki tapi cukup ke punggung kaki. Dalil
mereka yaitu :
-
Adanya qiroat lain dalam ayat (وَأَرْجَلِكُمْ) yaitu dengan dikasrohkan huruf ل
tidak di fathah sehingga atofnya kepada kepala bukan pada wajah. Ini
menunjukkan bahwa hukum kaki sama dengan hukum kepala (sama-sama diusap).
-
Ka’ab yang disebutkan dalam ayat datang dalam bentuk mutsanna (yang menunjukan
dua), padahal jumlah ka’ab untuk dua kaki adalah empat. Sehingga makna ka’ab
dalam ayat bukanlah mata kaki tetapi punggung kaki. (Syarhul mumti’ 1/153)
Namun
pendapat mereka ini adalah salah. Bantahannya :
-
Qiro’ah yang tujuh adalah dengan memfathahkan huruf ل . Dan qiro’ah ini jelas
menunjukan akan wajibnya. Adapun riwayat yang dikasrohkan ل, walaupun shohih
namun tidak merubah hukum. Dan hal ini boleh dalam bahasa arab yaitu أَرْجُلِ
dikasrohkan karena mujawaroh (bertetangga) dengan بِرُؤُوْسِ . Sebagaimana
dalam firman Allah ta’ala dalam surat Hud ayat 26 (عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيْمٍ). أَلِيْمٍ
merupakan sifat dari عَذَابَ tetapi dia majrur karena bertetangga dengan يَوْمٍ
.(Syarhus Sunnah 1/430)
-
Kalaupun qiro’ah yang dikasroh merubah hukum maka bisa dibawakan bagi hukum
mengusap kaki ketika memakai khuf. (Syarhul mumti’ 1/176)
-
Kalau boleh membasuh kaki maka bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : تَخَلَّفَ عَنَّا رَسُوْلُ اللهِ فِيْ سَفَرٍ سَفَرْنَاهُ،
فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقَتْنَا الصَّلاَةُ، صَلاَةُ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ،
فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا، فَنَادَاناَ بِأَعْلَى صَوْتِهِ :” وَيْلُ
لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ”
Dari
Abdullah bin Amr berkata : “Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketinggalan dari kami dalam suatu safar yang kami bersafar bersama beliau, lalu
(setelah menyusul kami-pent) beliau mendapati kami – (dan ketika itu) telah
datang waktu sholat yaitu sholat asar- kami sedang berwudlu, maka kami mengusap
kaki-kaki kami. Lalu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berteriak kepada
kami dengan suaranya yang keras :”Celakalah tumit-tumit (yang tidak terkena air
wudlu) dengan api” (Hadits shohih riwayat Bukhori dan Muslim)
Kalau
memang mengusap kaki boleh tentu tidak mengapa tumit tidak terkena air.
-
Mencuci kaki harus sampai mata kaki, sebagaimana dijelaskan oleh hadits Abu
Huroiroh
أَنَّ أَبَا
هُرَيْرَةَ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ يَدَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ العَضُدِ، وَرِجْلَهُ حَتَّى
أَشْرَعَ فِيْ السَّاقِ، ثُمَّ قَالَ : هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُلَ اللهِ يَتَوَضَّأُ
Abu
Huroiroh berwudlu maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas dan dia
mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata : “Demikianlah aku
melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudlu” (Hadits shohih
riwayat Muuslim, irwaul golil no 94)
Dan
tidak mungkin mencuci betis kecuali juga mencuci mata kaki. Dan kalau cuma
diusap sampai punggung kaki maka tumit boleh tidak terkena air. Dan ini
bertentangan dengan hadits Abdullah bin Amr di atas.
Perlu
diingat ketika mencuci kaki disunnahkan untuk menyela jari-jari kaki dan juga
jari-jari tangan (Taudihul Ahkam 1/175), sebagaimana hadits :
عَنْ لَقِيْط
بْن صَبْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَسْبِغِ الْوُضُوْءَ، وَخَلِّلْ بَيْنَ
الأَصَابِعِ، وَبَالِغْ فِيْ الإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
Dari
Laqith bin Sobroh berkata : Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:”Sempurnahkanlah wudlu dan sela-selalah jari-jari dan bersungguh-sungguhlah
ketika beristinsyaq kecuali engkau sedang berpuasa” (Hadits shohih, dishohihkan
oleh Ibnu Khuzaimah).
Adapun
menyela jari-jari kaki dengan jari tangan yang kelingking, maka ini hanyalah
istihsan dari para ulama dan tidak bisa dikatakan sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Berkata Ibnul Qoyyim dalam zadul ma’ad :”…Dalam (kitab)
sunan dari Mustaurid bin Syadad berkata : “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berwudlu dan dia menggosok jari-jari kakinya dengan jari tangan
kelingkingnya” Kalau riwayat ini benar [1]¨) maka sesungguhnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hanya melakukannya sekali-kali. Oleh karena itu sifat seperti
tidak diriwayatkan oleh para sahabat yang memperhatikan wudlu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam seperti Utsman, Abdullah bin Zaid dan selain keduanya.
Lagipula dalam riwayat tersebut ada Abdullah bin Lahiah.” (Syarhul Mumti’
1/143).
Next10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar